Wednesday, April 27, 2022

Ludovico di Varthema, Sang Penentu Arah Pemburu Rempah



epanjang abad pertengahan, Venesia merupakan bandar perdagangan penting.  Kota di pesisir Italia itu menjadi pusat pala, cengkih, lada, hingga kayu manis untuk orang-orang Eropa. Selama berabad-abad lamanya, pedagang Arab merahasiakan negeri asal rempah-rempah itu.

Kepulauan Rempah memang begitu dirahasiakan. Banyak mitos yang menggambarkan bahwa lokasinya dijaga monster raksasa yang memangsa kapal-kapal yang melintas, dihuni para kanibal yang begitu buas, hingga badai yang mengempaskan kapal-kapal yang mencoba menyambanginya.

Mitos itu tetap terpelihara sampai seorang asal Italia membuktikan semuanya. Ludovico di Varthema, sebuah nama yang nyaris dilupakan dunia. Lelaki mantan serdadu itu berasal dari Kota Bologna, sekitar 153 kilometer dari Venesia.

Dia bukanlah pedagang, bukan pula duta penjajah. Dia adalah pejalan soliter yang memiliki keilmuan, minat budaya, dan gairah menjelajah. Pada akhir 1502, Varthema meninggalkan istri dan keluarganya demi sebuah tekad penjelajahan. Dia bertolak dari bandar perdagangan Venesia, menuju Kepulauan Rempah yang begitu rahasia.

“Ada banyak pria yang telah mengabdikan dirinya untuk menyelidiki hal-hal dunia ini,” tulis Varthema pada paragraf pertama dalam jurnal perjalanannya. “Dengan bantuan berbagai studi, perjalanan, dan pertalian yang sangat tepat, mereka telah berusaha untuk mencapai keinginan itu.”

Jurnalnya dibukukan dengan tajuk Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese. Buku itu terbit pertama kali di Roma pada 1510, atau sekitar dua tahun sebelum Portugis menemukan Kepulauan Rempah. Catatan perjalannya dialihbahasakan untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Inggris oleh Richard Eden dengan tajuk History of Travayle pada periode 1556 sampai 1577.

Dia mengunjungi Alexandria dan menyusuri Sungai Nil di Mesir, kemudian berlanjut ke Beirut dan Damaskus. Perjalannya pun terkadang mengharuskan dia untuk menyamarkan identitas. Bergabung dengan serdadu Mamluk, Varthema memakai nama samaran Yunas. Dari kota kuno Damaskus, dia menempuh perjalanan melewati Lembah Sodom bersama karavan para peziarah haji menuju Mekkah dan Madinah. Varthema tercatat sebagai seorang non-Muslim pertama yang berhasil memasuki kota suci itu.

Perjalanannya berlanjut menyusuri gurun di barat daya , dan bersiap menyeberang menuju ke Persia, India, Srilangka, hingga Kepulauan Nusantara. Catatan perjalannya mengungkapkan bahwa dia berkesempatan singgah ke Malaka, Aceh, Banda, Maluku sebagai titik perjalanannya paling timur. Kemudian, dia menuju arah balik dan singgah ke Borneo dan Jawa.

“Menurut anggapan saya, yang juga menyetujui banyak pendapat,” ungkap Varthema, “saya merasa inilah Taprobana.”

Pada abad pertengahan, para penjelajah samudra kerap menyebut Taprobana untuk menunjuk pulau yang kini kita sebut sebagai Sumatra.

“Pider”—demikian dia menyebut Kota Pedir—merupakan satu-satunya kota persinggahannya di pesisir timur Sumatra. Varthema mengutip pendapat orang-orang bahwa inilah kota pelabuhan terbaik di pulau ini. Dia juga menunjukkan bahwa warga Pedir membangun rumahnya dengan batu dan banyak rumah di sini yang berlapis karapas. Perawakan warganya kecil, berkulit agak cerah, bermuka lebar dengan hidung pesek, dan bermata bulat dan hijau.

“Dan Anda perlu tahu bahwa mereka merupakan laki-laki paling aktif yang pernah saya jumpai,” ungkap Varthema tentang orang-orang Sumatra. “Mereka juga perenang ulung, dan sungguh ahli dalam membuat senjata api.

Catatan Portugis yang berjejak di kawasan ini pada masa-masa kemudian, tampaknya meneguhkan kesaksian Varthema. Keahlian orang Melayu dalam perkara artileri tampaknya dibawa oleh pengaruh orang-orang Persia, yang mendapat pengetahuan soal senjata api dari orang-orang Kristen.

“Gajah dalam jumlah besar dihasilkan di sini,” ungkap Varthema, “yang terbesar yang pernah saya lihat.” Uang emas, perak, dan timah mereka memiliki sisi yang menampilkan iblis, sementara sisi lainnya menampilkan sesuatu bersama kereta yang ditarik oleh gajah-gajah.

Varthema menggambarkan satu ruas jalan di Pedir menjadi ajang sekitar 500 pedagang uang, yang menunjukkan bahwa sejumlah besar pedagang asing telah meramaikan kota pesisir ini. Mereka tidur beralas kasur dengan seprai sutra dan kain katun. Pulau inimemiliki sumber daya kayu yang melimpah untuk pembuatan kapal. Perdagangan diramaikan oleh komoditi gading, sutera, kemenyan, lada, dan molaga—sejenis cabai.

Dia memiliki kesan mendalam tentang Pedir, yang saat itu menurutnya memiliki tiga raja paganisme, dan memiliki kesamaan dengan orang-orang Tanassari (kini Myanmar) perihal gaya hidup, busana, dan kebiasaan lainnya. “Orang-orangnya tidak menyukai perang,” tulisnya, “gemar memperhatikan barang dagangan mereka, dan sangat bersahabat dengan orang asing.”

Varthema mandapati kenyataan bahwa pala dan cengkih tidak tumbuh di sini, melainkan di tempat lain yang harus ditempuh dengan berlayar. Lantaran perahu besar akan berisiko diganggu perompak, mereka berlayar dengan chiampana—sebutan Varthema untuk kapal kecil atau sampan—yang telah dibekali makanan dan buah-buahan untuk bertolak menuju “Bandan”.

“Kami melayari sekitar dua puluh pulau, sebagian dihuni dan lainnya tidak,” catat Varthema.  Ini memberi gambaran kepada kita bahwa mereka melintasi sepanjang pesisir Jawa ke arah timur. Selama 15 hari di lautan, sampailah mereka Banda, satu dari gugusan pulau pala.
Varthema baru saja menunaikan rute penjelajahan yang belum pernah dilayari para pelaut Eropa. Setidaknya, tidak ada catatan perjalanan dari orang Eropa sebelum Varthema tentang rute dan tempat ini.

Banda, menurut catatannya, pulau yang “sangat buruk dan suram [...] Di sini tidak ada raja atau pemerintah, melainkan orang-orang desa yang tampak liar dan sulit mengerti.” Warganya berbusana sehelai kemeja dan menghuni rumah pangung dari pondok-pondok kayu. Namun, dia menambahkan, “Sirkulasi uang di sini seperti layaknya Kalkuta”.

“Tak ada yang tumbuh di sini, selain pala dan buah-buahan,” catat Varthema. Pala tumbuh secara spontan, dan menjadi harta semua warga. Setiap orang pun dapat menghimpun pala sebanyak yang dia mau, ungkapnya.
Varthema melanjutkan perjalanan selama 12 hari ke pulau penghasil cengkih terkemuka di Kepulauan Rempah ini. “Kita tiba di Pulau Monoch,” demikian dia menyebut Maluku, “yang lebih kecil ketimbang Bandan.” 

Tampaknya Varthema menganggap Maluku adalah toponimi sebuah pulau. Tidak jelas benar, di mana dia berlabuh. Namun pernyataannya bahwa pulau ini penghasil cengkih dan lebih kecil daripada Banda, mungkin dia berada di Ternate atau Tidore. “Negeri ini berada begitu rendah,” ungkapnya. Pada kenyataannya memang Maluku bergaris lintang rendah. “Dan, bintang utara tidak tampak dari sini.”

“Kami menjumpai bahwa mereka menjual cengkih dua kali lebih mahal dari pala, sebagai ukurannya, karena mereka tidak mengenal ukuran berat.” Ajaibnya, nilai tukar cengkih terhadap pala relatif tidak berubah sampai hari ini. Di Ternate, pada awal tahun ini, cengkih dijual seharga Rp105 ribu, sementara pala Rp55 ribu per kilogram.

Maluku adalah titik paling timur dalam perjalanannya. Pelayaran berikutnya menuju “Giava” atau Jawa, yang menurut petualang semasa merupakan “pulau terbesar di dunia dan paling kaya, dan Anda akan menyaksikan sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya.” Namun, sebelum berjejak di Jawa, Varthema singgah ke “Bornei”—atau penjelajah Portugis yang datang belakangan menyebutnya Borneo.




 

No comments:

Post a Comment