“Memang masuk akal jika di sekitar candi ada permukiman bagi pendeta dan pengurus candi untuk upacara berkala seperti yang disebutkan dalam prasasti,” demikian kata Profesor Mundardjito.
Mendiang mengungkapkan berita temuan arkeologi yang merujuk pada permukiman di sekitar Candi Borobudur. Penggalian di sisi barat candi pada awal 1950-an, menyingkap pondasi bangunan persegi empat dari batu bata. Selain itu, temuan genta besar yang terbuat dari perunggu dan beberapa paku yang terbuat dari perunggu pula. Temuan ini menunjukkan bahwa tampaknya “bangunan yang sudah tiada itu terbuat dari kayu.”
Penggalian yang dikisahkan Mundardjito itu tampaknya merupakan kelanjutan pekerjaan atas undangan pemerintah Republik Indonesia kepada dua ahli purbakala asal India. Keduanya bertugas untuk menyelidiki struktur Borobudur pada 1948, seperti yang diungkapkan Yazir Marzuki dan Toety Herati dalam buku mereka bertajuk Borobudur, terbit pada 1982.
Mundardjito mengingatkan kembali temuan jejak permukiman di sekitar Candi Borobudur dalam ceramah ilmiahnya di Jurusan Arkeologi, FIB-UI pada April 2003. Tajuknya, Pendekatan Studi Permukiman Sebagai Strategi Kegiatan Arkeologi Terpadu.
Dia dikenal sebagai 'Bapak Metodologi Arkeologi Indonesia' yang begitu memperhatikan ekologi dan keruangan. Ia mengajar di Jurusan Arkeologi FIB-UI pada 1964-2001. Sosoknya dikenal dalam kajian arkeologi di Trowulan, sebuah metropolitan zaman Majapahit yang hilang.
Menurutnya, arkeologi permukiman merupakan salah satu pendekatan. Kajian ini tidak hanya menekankan perhatian pada temuan artefak dan fitur belaka, tetapi juga pada situs sebagai satu unit ruang yang diteliti. Artinya, mengaitkan hubungan antara artefak, fitur dan ekofak di dalam situs. Berdasarkan kaitan-kaitan itulah, dia berharap temuan-temuan arkeologi dapat mendapatkan interpretasi fungsional.
Candi ini telah mengalami pemugaran dua kali. Pemugaran pertama pada 1907-1911, yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemugaran yang kedua pada 1973-1983, kerja sama pemerintah Republik Indonesia dan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Jelang pemugaaran Borobudur, pada 1972 dia bersama pengajar dan mahasiswa arkeologi menggelar kuliah kerja lapangan. Ketika para ahli pemugaran berupaya melestarikan bangunan candi nan agung, dia dan timnya mencari sisa permukiman di sekitar Candi Borobudur. “Menurut akal sehat,” ujarnya, “[permukian itu] dapat ditemukan di dekat setiap candi.”
Pada sisi barat daya candi, dia dan para calon ahli arkeologi itu berhasil menyingkap temuan yang diduga kuat merupakan permukiman. Mundardjito masih terkenang lima buah periuk terakota yang masih utuh, yang ditemukan pada dataran tanah keras dan suatu struktur susunan batu kali. Dia menduga dataran tanah keras itu merupakan sisi dalam dari hamparan pekarangan rumah.
Temuan permukiman di sekitar bangunan candi itu begitu spektakuler. Proyek pemugaran candi pun memperluas cakupan area ekskavasi. Semua berharap permukiman lainnya turut tersingkap.
Penemuan mahasiswa itu telah mendorong tim proyek pemugaran candi untuk memperluas daerah ekskavasi. Tim proyek pemugaran beruntung. Mereka berhasil menemukan lagi lima periuk terakota serupa, tak jauh dari temuan tim mahasiswa.
Namun, Mundardjito buru-buru menambahkan sebuah kejadian mengerikan dalam pelestarian temuan arkeologi. “Sayangnya lokasi temuan itu terlambat diketahui yaitu setelah bulldozer menggerus strata atasnya,” ungkapnya. “Dan, setelah alat besar itu menabrak bagian atas dua arca batu berwujud Bodhisattva dan Buddha dalam ukuran kecil.”
Temuan ekskavasi pada tahun berikutnya adalah sisa fondasi sebuah struktur dari batu sekitar sejengkal panjangnya yang berorientasi utara-selatan. Letak temuan ini berada di sisi timur dari tangga timur candi. Berikutnya, temuan struktur serupa di sisi utara candi berupa sisa bangunan yang terdiri atas dua hingga enam lapis bata, demikian ungkap Mundardjito.
Selain itu di lereng barat bukit candi ditemukan alat upacara dari perunggu. Bahkan, di sisi lainnya mereka juga menyingkap keramik Cina dari masa dinasti Tang, sekitar abad kesembilan yang seusia dengan Candi Borobudur. Penelitian pada 1973 itu merupakan kolaborasi mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia dan mahasiswa arkeologi Universitas Gadjah Mada.
Kendati demikian “masih sukar untuk menafsirkan bentuk dan fungsi sisa bangunan tersebut,” ujarnya, “karena kegiatan ekskavasi akhirnya harus diakhiri.” Menurutnya, ada bagian proyek pemugaran candi itu tampaknya kurang sesuai jadwal sehingga waktu ekskavasi timnya menjadi terbatas dan terkesan terburu-buru.
Akhirnya, mereka menggali sekitar 200-an kotak ekskavasi secara cepat. Mundardjito mengungkapkan hasilnya ribuan pecahan keramik lokal dan asing, sisa struktur bangunan bata, batu-batu yang telah dipotong, sejumlah susunan batu kali, sejumlah fragmen arang, gigi hewan, dan fragmen tulang.
“Diduga dahulu di tempat ini berdiri bangunan-bangunan yang dihuni sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu hingga akhirnya dilanda aliran lava,” demikian penjelasannya. Pasalnya, timnya menjumpai lapisan-lapisan pasir halus bercampur abu vulkanik yang berwarna kekuningan di kawasan itu.
Pemugaran Candi Borobudur diresmikan secara besar-besaran pada 10 Agustus 1973, yang saat itu kondisinya “kelihatan sekali betapa kumuh dan reyot” seperti diungkapkan Daoed Josoef dalam bukunya Borobudur, yang terbit 2004. Departemen Pendidikan dan Kebudayan menjadi tuan rumah atas pelaksanaan kerja pemugaran ini.
Pada 1973, Mundardjito berkisah, penggalian secara cepat masih berlanjut. Tim proyek pemugaran berhasil menemukan susunan batu bercampur bata di kedalaman satu meter. Bersama temuan ini muncul pecahan keramik bikinan lokal, keramik Cina dari Dinasti Tang, pecahan arang dan sederet gigi-geligi satwa. Di sisi barat candi mereka mengangkat temuan spektakuler berikutnya, yakni segulungan kecil lembaran perunggu dengan torehan inskripsi.
“Dalam penggalian cepat ini tidak jarang di belakang para penggali bergerak sudah menunggu bulldozer yang setiap saat siap meratakan tanah,” kenang Mundardjito.
Mereka juga menyingkap sejumlah stupa kecil—atau kerap disebut stupika—yang pada masa silam digunakan sebagai benda persembahan. Dia menambahkan bahwa stupika itu terbuat dari tanah liat yang tidak dibakar, melainkan hanya dikeringkan. Belakangan, jumlah stupika yang ditemukan di halaman Borobudur itu lebih dari 2300-an buah. Sementara itu tim proyek pemugaran juga menemukan 252 tablet dari tanah yang materialnya serupa dengan stupika.
Tim mahasiswa Universitas Indonesia saat itu berhasil menemukan lima buah periuk terakota utuh, sementara lima periuk lagi ditemukan oleh tim proyek pemugaran candi. Selain itu penggalian cepat tim proyek pemugaran berhasil mengumpulkan sejumlah 14.000 keping pecahan tembikar, ungkap Mundardjito.
Untuk temuan logam berikutnya, tim proyek pemugaran juga mengangkat empat gulung lembaran perak di kotak penggalian. Sementara dua gulung lembaran perak lainnya sudah di permukaan tanah, imbuhnya, karena terangkat dan tersorong oleh bulldozer.
“Setelah dibuka di laboratorium,” ungkap Mundardjito, “lembaran perak itu ternyata memuat satu baris tulisan Jawa Kuna.”
Dia mencoba mengaitkan beragam temuan jejak permukiman tadi sebagai kesatuan dalam arkeologi Borobudur. Fungsi utama bangunan suci, seperti Candi Borobudur, merupakan tempat diselenggarakannya berbagai upacara keagamaan secara berkala. Dia menambahkan, untuk pemeliharaan bangunan suci, tentu membutuhkan sejumlah orang yang melakukan upacara, sekelompok orang yang melayani komunitas yang hendak berupacara, dan sekelompok orang yang bertugas memelihara dan memperbaiki bangunan.
“Orang-orang itu sudah tentu memerlukan rumah tinggal dan bangunan-bangunan pelayanan umum di sekitar candi,” ungkapnya dalam ceramah ilmiah di kampus Universitas Indonesia. “Oleh sebab itu keberadaan situs candi dapat dijadikan petunjuk untuk menemukan situs permukiman.”
Sembilan tahun setelah ceramah ilmiahnya, National Geographic Indonesia menjumpai Mundardjito sebagai Board of Expert majalah bingkai kuning ini. Dalam perpustakaan yang sekaligus ruang kerja di kediamannya, dia mengisahkan kembali temuan timnya tentang jejak permukiman jelang pemugaran Candi Borobudur.
Sungguh miris, kisah awal konservasi temuan di halaman candi itu harus berkecamuk penggalian cepat yang dibantu alat berat karena desakan situasi dan kebijakan. “Arkeolog [seharusnya] bekerja dengan cetok,” ujarnya sungguh-sungguh. Sembari mengakhiri kisah muram sebagai seorang detektif masa lalu, dia berkata, “Saya sedih hanya bisa berdiri mengamati stupika-stupika itu terangkat bulldozer.”
Tampaknya kisah yang terjadi pada awal pemugaran kedua ini sudah dilupakan banyak orang—keengganan untuk membahasnya kembali. Sejak diresmikan pada 23 Februari 1983 oleh Presiden Soeharto yang disaksikan Direktur Jenderal UNESCO, seolah perhatian kita dan kebijakan hanya tertuju pada kemilau megah candi nan agung itu. Sementara, kelanjutan penelitian kompleks permukiman Candi Borobudur—seperti yang digagas Mundardjito—tampaknya masih gelap dalam angan.
“Arkeologi bekerja secara pelan hati-hati,” ungkapnya pada suatu kesempatan tentang bagaimana seharusnya ilmu arkeologi bekerja. “Arkeologi itu bicara konteks.”
No comments:
Post a Comment