Manusia modern, atau yang dikenal juga dengan sebutan Homo sapiens, adalah pewaris tunggal Bumi. Fakta ini tak terbantahkan. Di antara spesies nenek moyang manusia lain yang berasal dari anggota genus Homo, Sapiens beserta keturunannya merupakan kelompok terakhir yang berhasil bertahan hidup.
Selama lebih dari ratusan ribu tahun, Homo sapiens bertahan dengan cara berevolusi. Dari makhluk sepele, mereka berubah menjadi spesies utama di muka Bumi. Manusia modern pula satu-satunya kelompok makhluk hidup yang mampu bekerja sama dalam jumlah besar, merumuskan sesuatu untuk mencegah kepunahan.
Pertanyaannya, bagaimana bisa?
Sejarawan asal Israel, Yuval Noah Harari, mengatakan bahwa itu semua bisa terjadi berkat imajinasi. Dibandingkan makhluk lainnya, hanya Homo sapiens yang mampu membangun realitas baru di luar kenyataan objektif demi keberlangsungan hidup. Melaluinya, nenek moyang kita menciptakan apa yang disebut dengan fiksi.
“Kita dapat bekerja sama dengan baik bersama orang lain yang tidak kita kenal, karena hanya kitalah satu-satunya makhluk di Bumi yang dapat menciptakan dan mempercayai cerita fiksi,” kata Harari dalam acara TED Global London pada Juni 2015.
Fiksi manusia modern memiliki cara kerja yang sama dengan lukisan gua purbakala. Seperti halnya mitologi manusia berkepala binatang, Homo sapiens memakai cara yang sama untuk berkomunikasi dan menurunkan kecerdasan kognitif mereka satu sama lain. Pola ini terus diulang sejak zaman purba hingga kini.
Dalam bukunya yang termasyur, Sapiens: A Brief History of Humankind (2011, hlm. 27), Harari menyebut kondisi ini sebagai Revolusi Kognitif. Ia menjelaskan bahwa legenda, mitos, dan kepercayaan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk dongeng lahir dari ruang yang sama. Kemampuan untuk mendongeng adalah keistimewaan paling unik yang hanya dimiliki Homo sapiens.
“Lukisan gua adalah bagian dari cara memahami bagaimana Homo sapiens bisa tiba pada kemampuan kognitif tingkat tinggi,” kata Shigeru Miyagawa, profesor linguistik di Kajian Sastra dan Budaya Jepang di MIT.
Fiksi atau dongeng, dalam penjelasan Harari, bukan semata-mata hal yang memungkinkan seseorang membayangkan sesuatu. Fiksi juga harus berupa cerita atau kepercayaan yang berkembang secara kolektif. Berkat kemampuan semacam ini, Homo sapiens mampu bekerja sama secara fleksibel dalam jumlah besar, dan menjamin berkelangsungan hidup spesies mereka.
Harari memperkuat argumennya dengan membeberkan bahwa sepanjang sejarah umat manusia, dongeng dapat berbentuk berbagai macam rupa. Hal semacam ini khususnya ditunjukkan dari cara agama atau kepercayaan tertentu memelihara ketaatan umatnya lewat mitos-mitos. Dalam konsep negara modern, dongeng serupa juga ditumbuhkan melalui cerita-cerita nasionalisme yang bertujuan menjaga keutuhan negara.
“Selama setiap orang mempercayai dan menaati cerita yang sama, mereka juga akan mengikuti peraturan yang sama, serta norma dan nilai yang sama,” kata Harari.
Dalam beberapa abad terakhir, manusia berhasil menumbuhkan realitas subjektif yang hanya hidup dalam imajinasi masyarakat modern. Harari menyebutnya sebagai “sebuah realita yang terbuat dari konsep-konsep fiktif.” Ia memberi contoh konsep fiktif yang paling berhasil menyatukan seluruh orang di muka Bumi adalah uang.
“Uang adalah konsep paling sukses yang ditemukan dan disebarkan oleh manusia. Tidak semua manusia percaya Tuhan, tidak semua percaya HAM, tidak semua percaya pada nasionalisme, namun semua orang percaya pada uang,” katanya.
“Uang pada hakikatnya tidak memiliki nilai objektif. Kemudian datanglah para pendongeng ulung, para bankir besar, para menteri perekonomian. Mereka memberi konsep yang sangat meyakinkan bahwa selembar kertas bisa ditukar dengan beberapa buah pisang. Selama orang mempercayai cerita ini, semua akan berhasil,” tutup Harari.
No comments:
Post a Comment