Selama bertahun-tahun, para ilmuwan bingung soal apa sebenarnya yang menyebabkan megafauna atau hewan-hewan berukuran besar di Amerika Utara punah. Mereka berdebat apakah penyebabnya adalah perburuan yang berlebihan, perubahan iklim, atau keduanya.
Dalam sebuah studi terbaru yang laporan hasilnya telah terbit di jurnal Nature Communications pada 16 februari 2021, sekelompok peneliti mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan menggunakan analisis statistik, mereka menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah penyebab utama lenyapnya spesies-spesies terbesar di Amerika Utara, termasuk mamut dan kungkang raksasa.
Sebelumnya, pada tahun 1950-an, banyak peneliti berhipotesis bahwa perburuan hewan besar adalah penyebab utama punahnya mamut, kungkang, dan megafauna lainnya. Para pendukung hipotesis "overkill" itu berpendapat bahwa seiring dengan bertambahnya populasi manusia di seluruh benua, mereka dengan mudah membantai spesies megafauna tersebut.
Para pengkritik hipotesis “overkill” itu mengklaim tidak ada bukti arkeologis yang cukup untuk membenarkan klaim tersebut. Perburuan megafauna, menurut mereka, tidak terjadi meluas di seluruh dunia.
Sebaliknya, mereka mengklaim bahwa perubahan iklim yang adalah penyebabnya. Secara spesifik mereka menyebut periode pemanasan mendadak sekitar 14.700 tahun lalu yang diikuti oleh musim dingin yang dramatis sekitar 12.900 tahun lalu.
Kedua kubu berusaha untuk memperkuat klaim mereka dengan membandingkan garis waktu fosil dan catatan arkeologi lainnya dengan catatan waktu perubahan iklim. "Pendekatan umum adalah mencoba menentukan waktu kepunahan megafauna dan kemudian melihat apakah kematian mereka selaras dengan kedatangan manusia di Amerika atau dengan beberapa peristiwa iklim," kata Mathew Stewart dari Max Planck Extreme Events Research Group di Jena, Jerman, yang merupakan salah satu peneliti dalam studi terbaru ini.
“Bagaimanapun, kepunahan adalah sebuah proses --artinya ia terungkap dalam beberapa rentang waktu-- dan untuk memahami apa yang menyebabkan matinya megafauna Amerika Utara, penting bagi kita untuk memahami bagaimana populasi mereka berfluktuasi menuju kepunahan. Tanpa pola-pola jangka panjang itu, yang bisa kita lihat hanyalah kebetulan yang kasar,” ujarnya lagi, sebagaimana dikutip dari UPI.
Dalam studi terbaru ini, Stewart dan rekan-rekan penelitiannya menggunakan teknik analisis statistik baru untuk memperkirakan perubahan jumlah populasi beberapa spesies megafauna, termasuk mamut, kungkang tanah, berang-berang raksasa, dan glyptodon, makhluk mirip armadillo yang berukuran sangat besar.
Analisis mengandalkan catatan radiokarbon sebagai proksi kelimpahan biologis. Populasi megafauna dan manusia yang lebih besar, menurut teori yang mereka gunakan, meninggalkan jumlah karbon yang lebih besar yang dapat didata.
Metode analisis baru ini menunjukkan jumlah populasi megafauna berfluktuasi sebagai respons terhadap perubahan iklim yang tiba-tiba. "Populasi megafauna tampaknya telah meningkat saat Amerika Utara mulai menghangat sekitar 14.700 tahun lalu," kata Stewart.
"Tapi kami kemudian melihat pergeseran tren ini sekitar 12.900 tahun yang lalu saat Amerika Utara mulai mendingin secara drastis, dan tak lama setelah ini kami mulai melihat kepunahan megafauna terjadi," ujarnya.
Menurut hasil analisis statistik ini, perkembangan cepat kondisi glasial di Amerika Utara adalah penyebab utama kepunahan megafauna. "Kita harus mempertimbangkan perubahan ekologi yang terkait dengan perubahan iklim ini pada skala benua dan regional jika kita ingin memiliki pemahaman yang tepat tentang apa yang mendorong kepunahan ini," kata Huw Groucutt, peneliti lainnya dalam studi ini, yang juga merupakan pemimpin Extreme Events research group di Max Planck.
"Manusia juga tidak sepenuhnya bebas (dari kesalahan), karena masih mungkin mereka memainkan peran yang lebih beragam dalam kepunahan megafauna daripada yang disebut oleh teori perburuan berlebihan," kata Groucutt. Jadi, bisa jadi aktivitas manusia yang hidup kala itu memiliki andil juga dalam memicu terjadinya perubahan iklim yang mendadak pada masa itu.
No comments:
Post a Comment